Lembaga Pembentuk Undang-Undang dan Peraturan Per Undang-Undangan
- A. Lembaga Pembentuk Undang-Undang
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk, susunan, kedudukan, dan kewenangannya beragam sesuai dengan perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga perwakilan rakyat itu pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan.[1] Apa yang diputuskan parlemen, itulah yang dianggap sebagai putusan rakyat yang berdaulat. Dari sinilah lahir doktrin supremasi parlemen (the principle of supremacy of parliament). Dalam perspektif yang demikian, undang-undang sebagai produk parlemen tidak dapat diganggu gugat apalagi dinilai oleh hakim. Hakim hanya berwenang menerapkannya bukan menilai apalagi membatalkannya.[2]
Di beberapa Negara, doktrin supremasi parlemen ini bahkan diwujudkan dalam pelembagaan Majelis Rakyat Tertinggi, seperti yang diterapkan di lingkungan negara-negara komunis. Sebelum bubarnya Uni Soviet, RCC, dan negara-negara Eropa Timur pada umumnya memiliki struktur parlemen yang memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi dalam sistem struktur ketatanegaraan yang dianut. Sebaliknya di berbagai negara demokrasi liberal seperti Perancis, Inggris, dan Belanda, walaupun tidak dicerminkan dalam struktur kelembagaan parlemennya, prinsip supremasi parlemen itu dianut sangat kuat. Bahkan, sampai sekarang, Inggris dan Belanda masih menganut prinsip bahwa undang-undang buatan parlemen tidak dapat diganggu gugat oleh hakim, karena undang-undang itu adalah produk lembaga parlemen yang mewakili kepentingan rakyat yang berdaulat.[3]
Di atas sudah dijelaskan bahwa secara umum, ada 3 (tiga) prinsip perwakilan yang dikenal di dunia, sebagai berikut:[4]
- Representasi politik (political representation)
- Representasi teritorial (territorial representation)
- Representasion fungsional (functional representation).
Pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna jika tidak dilengkapi dengan sistem “double-checks” sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Oleh karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah (regional representation) atau perwakilan teritorial (territorial representation). Untuk negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-negara berbentuk feodal, sistem “double-cecks” ini dianggap lebih ideal, karena itu, banyak di antaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk struktur parlemen bikameral atau dua kamar.
Pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu, sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, melainkan didasarkan atas pertimbangan fungsional. Misalnya, di Inggris majelis tinggi yang disebutHouse of Lords dibedakan dari majelis rendah yang disebut House of Commons bukan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi teritorial, melainkan berdasarkan prinsip representasi fungsional. House of Lords mencerminkan keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan tanah dan para bangsawan Inggris yang dulunya berkuasa mutlak, yang selanjutnya ditampung kepentingannya dalam wadah House of Lords.Sementara itu, House of Commons mencerminkan keterwakilan rakyat secara politik melalui peranan partai politik sebagai pilar demokrasi.[5]
Tidak ada negara di dunia yang memiki tiga lembaga yang terpisah seperti DPR, DPD, dan MPR dalam cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Legislatif dalam arti sempit, MPR memang tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimilikinya tidak termasuk ke dalam pengertian cabang kekuasaan legislatif.[6] Di Indonesia, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen biasanya dibedakan ke dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu:
- Fungsi legislasi (legislatif);
- Fungsi pengawasan (control); dan
- Fungsi anggaran (budget).
Di sini penulis hanya menjelaskan fungsi DPR sebagai fungsi pembentuk undang-undang (legislasi). Hal ini dikarenakan, supaya tidak melebarnya pembahasan dalam penelitian ini. Cabang legislatif adalah cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan asas kedaulatan rakyat.[7] Kegiatan bernegara, adalah pertama-tama untuk mengatur kehidupan bersama, karena itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan harus diberikan kepada DPR. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Kewenangan ini pada pokoknya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum tersebut.[8]
Cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur hal-hal tersebut di atas pada dasarnya adalah DPR, maka undang-undang harus dibuat dan ditetapkan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) ditentukan:
“Setiap undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Pada pokoknya, fungsi legislatif itu menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut:[9]
- Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
- Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
- Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachtment approval);
- Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi ini biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, DPR biasa dibedakan menjadi dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Perbedaan ini, dapat dilihat dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD.[10] Dalam praktik di Indonesia, fungsi legislasilah yang dianggap utama, sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi kedua dan ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang dasar. Hal ini berdasarkan pada Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Fungsi legislasi mempunyai peran yang utama sebagai fungsi dalam membentuk undang-undang.
Perubahan UUD 1945 membawa dampak yang positif terhadap peran DPR dalam membentuk undang-undang (fungsi legislasi). Perubahan ini dimaksudkan untuk memberdayakan DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang, karena peranan DPR sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (eksekutif). Perubahan UUD 1945 juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Pergeseran kewenangan dalam membentuk undang-undang yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekusaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif).[11] Namun demikian, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal ini juga merupakan penjabaran untuk memperkuat sistem presidensial.
- B. Pengertian Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang dan Harmonisasi
- 1. Pengertian Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat berkembangnya organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat, yaitu negara. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa peraturan perundang-undangan tidak lain dari perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa dalam bentuk hukum. Bagir Manan dan Kuntana Magnar menyatakan, bahwa:[12]
“Peraturan perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material)”.
Peraturan perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi yang berdaulat, maka peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum.[13] Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa di luar peraturan perundang-undangan tidak ada sumber hukum yang lain. Di lain pihak Maria Farida Indrati Soeprapto mendefinisikan peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu:[14]
“Pertama, sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan
Kedua, sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.”
Sementara itu, Bagir Manan[15] mempersamakan definisi peraturan perundang-undangan dengan pengertian Undang-Undang dalam arti meteriil, yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Begitu halnya dengan T.J. Buys[16] mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan-peraturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende voorschriften). Pendapat ini oleh J.H.A. Logemann ditambah dengannaar buiten werkende voorschriften, sehingga menurutnya peraturan perundang-undangan adalah peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en naar buiten werkende voorschriften). Pengertian “berdaya laku keluar” adalah bahwa peraturan tersebut ditujukan kepada masyarakat (umum) tidak ditujukan kepada (ke dalam) pembentuknya.[17]
Pengertian peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan definisi atau ruang lingkup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, yang menyatakan:
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”
Adapun ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo, adalah:[18]
- Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat khusus dan terbatas;
- Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
- Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.”
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan tersebut, penulis mempunyai kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan tertulis yang dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang yang mengikat secara umum dan mempunyai daya berlaku keluar.
- 2. Pengertian undang-undang
Sebelum perubahan terhadap UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang mempunyai peran utama adalah lembaga eksekutif (Presiden). Hal ini sesuai dengan Pasal 5 UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dapat disimpulkan bahwa secara formal RUU yang akan menjadi undang-undang harus melalui persetujuan dari DPR. Perubahan terhadap UUD 1945 membawa dampak dalam proses pembentukan undang-undang. Kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh eksekutif (Presiden), kemudian beralih kepada lembaga legislatif (DPR). Undang-undang menurut Amiroeddin Sjarif adalah sebagai berikut:[19]
“Undang-undang adalah peraturan umum dan formal. Dibentuk oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang mengatur persoalan-persoalan pokok dalam rangka melaksanakan hukum dasar negara.”
Berdasarkan pengertian di atas undang-undang merupakan produk bersama DPR dan Presiden. Apabila salah satunya tidak ada (DPR atau Presiden), maka secara formal tidak ada produk peraturan yang dinamakan undang-undang.
Dengan demikian sebelum DPR dibentuk, Presiden tidak mungkin mengajukan inisiatif untuk membentuk undang-undang. Begitupun sebaliknya, DPR tidak mungkin membentuk undang-undang selama jabatan Presiden belum diisi.[20] Setelah proklamasi, pembentukan undang-undang baru dimungkinkan setelah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dilaksanakan BPKNIP diberi kekuasaan legislatif, yaitu sebagai DPR(S). Baru setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X dimungkinkan untuk membentuk undang-undang. Pada tanggal 23 November 1945 Presiden untuk pertama kali menetapkan undang-undang yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah. Undang-undang ini adalah undang-undang pertama Republik Indonesia. Undang-undang harus bersumber pada peraturan dasar (Fundamental law) yaitu UUD 1945. Definisi undang-undang menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a adalah:[21]
“Yang dimaksud dengan undang-undang adalah legislative act atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif.”
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pengertian Undang-undang adalah:
“peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa undang-undang mengandung pengertian sebagai suatu akta hukum berupa peraturan yang secara formal dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif) dengan persetujuan bersama Presiden (eksekutif). Tanpa peran dari kedua lembaga tersebut, undang-undang tidak akan bisa dihasilkan.
Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat rakyat, biasanya disertai dengan sanksi, yang dibuat oleh lembaga tertentu dan menurut prosedur tertentu pula.[22] Apabila kita kaitkan dengan undang-undang, undang-undang merupakan jenis dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dapat juga disebut sebagai segala peraturan Negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Berdasarkan hal tersebut, maka undang-undang merupakan bagian atau merupakan jenis dari peraturan perundang-undang, baik sebagai proses pembentukan peraturan negara maupun segala peraturan Negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan.
- 3. Pengertian Harmonisasi
“Harmonisasi” berasal dari kata “harmoni”, yang berarti keselarasan, kecocokan, keserasian.[23] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan upaya mencari keselarasan. Namun demikian, dalam Collins Cobuild Dictionary ditemukan kata harmonious dan harmonize dengan penjelasan sebagai berikut:[24]
- A relationship, agreement etc. that is harmonious is friendly and peaceful.
- Things which are harmonious have parts which make up an attractive whole and which are in proper proportion to each other.
- When people harmonize, they agree about issues or subjects in a friendly, peaceful ways; suitable, reconcile.
- If you harmonize two or more things, they fit in with each other is part of a system, society, etc.
Unsur-unsur yang dapat ditarik dari perumusan pengertian harmonisasi tersebut, antara lain: (a) adanya hal-hal yang bertentangan, kejanggalan; (b) menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar terbentuk suatu sistem; (c) suatu proses atau suatu upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan; (d) kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang utuh.
Pembangunan materi hukum (legal substances) atau peraturan perundang-undangan di Indonesia hingga kini terus berlangsung, karena peraturan perundang-undangan merupakan salah satu sendi utama dari sistem hukum nasional. Namun demikian masih saja ditemukan peraturan perundang-undangan “bermasalah”, baik karena subtansi, proses dan prosedur, maupun aspek legal drafting. Menurut Ahmad M. Ramli, paling tidak ada 3 (tiga) permasalahan utama di bidang ini, yaitu:[25] (a) tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan; (b) perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelas; dan (c) implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksananya.
Permasalah tersebut di atas, antara lain, disebabkan oleh proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan pentingnya pendalaman materi, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain. Oleh karena itu, salah satu prioritas yang harus dilakukan dalam rangka pembangunan hukum nasional adalah melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Harmonisasi dilakukan secara sistemik sejak dini yaitu sejak dilakukannya penyusunan naskah akademik (NA), penyusunan Program Legislasi Nasional (prolegnas) sampai dengan penyusunan RUU.
Adapun yang dimaksud dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan menurut Ahmad M. Ramli adalah:[26]
“Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem hukum sehingga menghasilkan peraturan (sistem hukum) yang harmonis.”
Badan Pembinaan Hukum Nasional memberikan pengertian harmonisasi hukum menurut Moh. Hasan Wargakusuma, sebagai berikut:[27]
“Harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek, telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI.”
Peraturan perundang-undangan merupakan suatu peraturan tertulis yang mempunyai sifat mengatur dan mengikat secara umum. Karena mempunyai sifat tersebut, maka dalam pembentukannya peraturan perundang-undangan tidak boleh dibuat secara asal. Harus ada kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya, baik itu kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang di atasnya (vertikal) ataupun peraturan perundang-undangan yang sejajar tingkatannya (horizontal). Dengan demikian menurut Maria Farida Indrati Soeprapto pengertian ”harmonisasi” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah:[28]
”suatu upaya atau suatu kegiatan untuk menyelaraskan (membuat selaras), dan menyesuaikan (membuat sesuai) antara suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang bersifat sejajar (horisontal) atau bersifat hierarkhis (vertikal).”
Untuk mendapatkan suatu peraturan perundang-undangan yang baik, maka sinkronisasi dan harmonisasi tidak hanya dilakukan dengan menyesuaikan dan menyelaraskan berbagai pengertian dan kalimat yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Harmonisasi dalam pembentukan perundang-undangan harus pula memperhatikan pada latar belakang dan konsep berfikir, serta sistem yang mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai suatu contoh, apabila suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai latar belakang, dan konsep berpikir, dan dipengaruhi oleh sistem yang individualis, tentu akan sangat sukar diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan lain yang mempunyai latar belakang, konsep berpikir dan dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan.
- C. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi utama yaitu yang mempunyai sifat mengatur dan mengikat secara umum. Adapun bentuk dari peraturan perundang-undangan merupakan putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai kewenangan menurut peraturan yang berlaku. Menurut Bagir Manan fungsi peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal:[29]
- 1. Fungsi Internal
Yang dimaksud fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-undangan sebagai subsistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi:
- Fungsi Penciptaan Hukum
Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melaluiputusan hakim (yurisprudensi), kebiasaan yang tumbuh sebagai praktik dalam kehidupan masyarakat dan negara, dan peraturan perundang-undangansebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.
- Fungsi Pembaharuan Hukum
Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncanakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan menjadi sarana memperbaharui yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan hindia belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat, peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan dan hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaatan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum tersebut sangat rigid terhadap perubahan.
- Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum
Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: ”sistem hukum kontinental (barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya Islam) dan sistem hukum nasional. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum, terutama sistem hukum yang hidup sebagai suatu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya digantungkan pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
- Fungsi Kepastian Hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupakan suatu asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (rechtshandhaving, rechtsuitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:
i) Jelas dalam perumusannya (unambiguous).
ii) Konsisten dalam perumusannya, baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa. Konsisten secara ekstern, adalah adanya hubungan “harmonis” antara berbagai peraturan perundang-undangan.
iii) Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti. Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa yang umum dipergunakan masyarakat, tetapi ini tidak berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum, baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus digunakan secara pasti karena merupakan bagian dari upaya menjamin kepastian hukum.
Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.
Berdasarkan uraian tersebut, bahwa fungsi internal dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan terdiri dari 4 (empat) fungsi, yaitu: fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralism system hukum dan terakhir fungsi kepastian hukum. Peraturan perundang-undang selain mempunyai fungsi internal, terdapat pula fungsi eksternal, antara lain sebagai berikut:[30]
- 2. Fungsi Eksternal
Fungsi eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan tempatnya berlaku. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum. Dengan demikian, fungsi ini juga dapat berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:
- Fungsi perubahan
Telah lama di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as a tool of social engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
- Fungsi stabilisasi
Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan, dan lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem sosial budaya yang telah ada.
- Fungsi kemudahan
Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan “insentif” seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan.
- D. Materi Muatan Undang-Undang
Istilah “materi muatan” pertama kali diperguakan oleh A. Hamid S Attamimi, yang diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun 1979. Menurut A Hamid S Attamimi istilah “materi muatan” sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah (kata) Belanda “het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke“het eigenaardig onderwerp der wet” yang diterjemahkan dengan “materi muatan yang khas dari undang-undang”. Adapun yang dimaksud dengan “materi muatan” menurut A Hamid S Attamimi adalah:[31]
“isi kandungan atau subtansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya”.
Sementara itu, “materi muatan” menurut Bagir Manan adalah:[32]
“muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang-undangan tertentu”.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, merupakan langkah maju agar produk hukum yang responsif dapat diwujudkan. Hal tersebut terbukti dengan dicantumkannya ketentuan-ketentuan mengenai partisipasi masyarakat di dalam pembentukan undang-undang. Di samping itu, kini dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juga upaya untuk menata sistem hukum khususnya peraturan perundang-undangan sudah mulai dilakukan, baik dalam hal asas, materi muatan, maupun hierarki peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, diatur mengenai materi muatan dari suatu undang-undang, adalah sebagai berikut:[33]
“bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
- mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
- hak-hak asasi manusia;
- hak dan kewajiban warga negara;
- pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
- wilayah negara dan pembagian daerah;
- kewarganegaraan dan kependudukan;
- keuangan negara.
- diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.”
Undang-undang merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkaun materi muatannya. Dapatlah dikatakan, tidak ada lapangan kehidupan dan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, masyarakat dan individu yang tidak dapat menjadi jangkauan untuk diatur oleh undang-undang. Bidang yang tidak dapat diatur oleh undang-undang hanyalah hal-hal yang sudah diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD), atau sesuatu yang oleh undang-undang itu sendiri telah didelegasikan pada bentuk peraturan perundang-undangan lain. Pada Pasal 8 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang”. Secara redaksional ketentuan ini menjadi tidak jelas, karena di dalam praktiknya ada suatu pendelegasian peraturan perundang-undangan (delegated legislation) dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya terhadap peraturan yang lebih rendah derajatnya.
Menurut Bagir Manan materi muatan undang-undang ditentukan berdasarkan tolok ukur sebagai berikut:[34]
- Ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar;
- Ditetapkan dalam undang-undang terdahulu;
- Ditetapkan dalam rangka mencabut, menambah, atau mengganti undang-undang yang lama;
- Materi muatan menyangkut hak dasar atau hak asasi;
- Materi muatan menyangkut kepentingan atau kewajiban rakyat banyak.
Tolok ukur di atas, dalam hal tertentu tidak bersifat mutlak. Artinya tidak segala materi muatan tersebut harus diatur secara formal dalam undang-undang, tetapi dapat juga undang-undang yang bersangkutan mendelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya (delegated legislation).
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, mengutip pendapat A. Hamid S. Attamimi, terdapat 9 (sembilan) butir materi muatan undang-undang, yaitu hal-hal:[35]
- yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR;
- yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;
- yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;
- yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
- yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
- yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara;
- yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
- yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan;
- yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.
Rincian butir-butir materi muatan tersebut di atas, merupakan suatu pedoman untuk menguji apakah suatu materi muatan peraturan perundang-undangan termasuk ke dalam materi muatan undang-undang atau tidak.
- E. Landasan dan Asas-asas Peraturan Perundang-undangan
Setiap peraturan perundang-undangan dapat dikatakan baik (good legislation), sah menurut hukum (legal validity), dan berlaku efektif karena dapat diterima masyarakat serta berlaku untuk waktu yang panjang, harus didasarkan pada landasan peraturan perundang-undangan. Menurut Rosjidi Ranggawidjaja ada 3 (tiga) landasan pembuatan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:[36]
- Landasan Filosofis, yaitu filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai baik dan nilai yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan. Apapun jenisnya filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.
- Landasan Sosiologis, adalah bahwa suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.
- Landasan Yuridis, adalah landasan hukum (juridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan pembuat peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.
Di lain pihak, landasan peraturan perundang-undangan menurut Amiroeddin Sjarif, adalah:[37]
- Landasan Filosofis, peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filisofische grondslag) apabila rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtsvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi ia mempunyai alas an yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam. Alasan tersebut sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sesuai dengan cita-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idée der gerechtigheid) dan cita-cita kesusilaan (idiil der zadelijkheid).
- Landasan Sosiologis, suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (sociologisce gronslag) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
- Landasan Yuridis, disebut juga landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas adalah landasan dasar yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Landasan yuridis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
- Landasan yuridis yang beraspek formal yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada badan pembentuknya.
- Landasan yuridis yang beraspek material adalah ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah atau persoalan apa yang harus diatur.
Berdasarkan pendapat Rosjidi Ranggawidjaja dan Amiroedin Sjarif di atas, terdapat persamaan dalam memaparkan mengenai landasan dalam peraturan perundang-undangan. Baik menurut Rosjidi Ranggawidjaja maupun menurut Amiroedin Sjarif peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada: landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis.
[1] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. hlm. 153.
[2] Ibid
[3] Ibid. hlm. 154.
[4] Ibid. hlm. 154.
[5] Ibid. hlm. 155.
[6] Ibid. hlm. 159.
[7] Ibid. hlm. 160.
[8] Ibid. hlm. 161.
[9] Jimly Asshiddiqie. Op. Cit. hlm. 161-162.
[10] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. LN-RI Tahun 2003 Nomor 92, TLN RI Nomor 4310.
[11]Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sesuai dengan urutan bab, pasal, dan ayat), Jakarta, Setjen MPR RI, 2007. hlm. 85-86.
[12] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 1997, hlm. 248.
[13] Ibid.
[14] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu perundang-undangan; Dasar-dasar dan Perkembangannya, Kanisisus, Yogyakarta, 1998. hlm. 3.
[15] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992. Hlm. 3. Bagir Manan menyamakan istilah peraturan perundang-undangan dengan istilah undang-undang dalam arti materiil.
[16] Terpetik dalam: I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit. hlm. 17.
[17] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,Mandar Maju. Bandung,1998. hlm. 19.
[18] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.1996. hlm. 83-84.
[19] Amiroeddin Sjarif, Perundang-undangan (dasar, jenis, dan teknik membuatnya), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Hlm. 32.
[20] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Loc.Cit. hlm. 182-183.
[21] I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit. hlm. 60.
[22] A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 20 September 1993, hlm. 8.
[23] M. Dahlan al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta, Arkola, 1995. hlm. 185.
[24] Ahmad M. Ramli, Majalah Hukum Nasional; Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, BPHN, No. 2 Tahun 2008, hlm. 4.
[25] Ahmad M. Ramli, Op.Cit. hlm. 1-2.
[26] Ibid. hlm. 4.
[27] Ibid. hlm. 5.
[28] Maria Farida Indrati Soprapto. Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sebuah artikel dalam, diunduh darihttp://www.legalitas.org/?q=node/216 ditulis 27 juni 2007, 12.30, 27-01-2009, Op.Cit.
[29] Bagir Manan, Loc.Cit. Hlm. 138.
[30] Bagir Manan, Loc.Cit. Hlm. 143.
[31] Terpetik dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Loc. Cit. hlm. 53.
[32] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Loc.Cit. hlm. 145.
[33]Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[34] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind Hill Co, Jakarta, 1992, hlm. 37.
[35]Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, 1998, hlm. 129-130.
[36] Rosjidi Ranggawidjaja, Loc. Cit. hlm. 43-44.
[37] Amiroeddin Sjarif, Op. Cit. hlm. 91-94.